Musim sumbangan telah
tiba.... Jika musim panen, musim buah,
musim hujan banyak ditunggu orang dengan gembira, maka musim sumbangan adalah
musim yang paling menyedihkan bagi sebagian kaum simbok. Gimana tidak, dalam sebulan bisa tiga bahkan
enam kali sumbangan.... kadang-kadang sehari bisa dua atau tiga undangan sekaligus. Wadhuh.....
Di masyarakat kita, terutama di
daerah saya, Jogja, “pada umumnya” kalau orang punya hajatan (nikah, sunatan,
kelahiran bayi), pasti disertai dengan sumbangan, memberi amplop berisi uang
yang diberikan kepada si empunya hajat sebagai tanda “nderek bingah” atau ikut
berbahagia atas hajatan tersebut. Ada juga yang sebelum hari H hajatan, si
empunya hajatan mengirimkan makanan yang orang jawa biasa menyebutnya “besek”, "caos dhahar" (member makan), kepada kerabat, kerabatnya kerabat, teman,
kenalan dan orang-orang yang dianggapnya perlu. Kemudian yang diberi “besek”
tadi secara otomatis “wajib” memberi sumbangan kepada si pemberi. Sudah
tradisi....
Dari sudut si empunya hajatan, di
perkotaan, jika orang punya hajatan, dia menyewa tempat resepsi, semua jamuan
sudah disediakan katering. Tamu tinggal datang, masukin amplop, bersalaman,
makan, pulang. Kalau di desa, tetangga
dan kerabat dikumpulkan, bila perlu yang
biasa berdagang tutup dulu dagangannya, buruh dan karyawan libur dulu kerjanya,
“rewang”, membantu tuan rumah masak dan mempersiapkan “ubo rampe” hajatan. Itu
biasanya berlangsung selama dua sampai empat hari. Kalau hajatannya
besar-besaran bisa sampai satu minggu. Hari H nyumbang, atau nyumbangnya pada
saat hari pertama dia datang membantu “rewang”, setelah selesai ikut
beres-beres.... Kadang orang yang punya hajatan dan “nompo”, biasanya dia juga
memikirkan sesuatu yang akan diberikan sebagai balasan (ulih-ulih), biasanya
berupa kue, nasi beserta lauk pauknya atau makanan lain. Jadi biaya yang akan
dikeluarkan akan membengkak, mulai untuk membuat “besek”, hidangan hari H, makan
bagi tetangga yang membantunya, ulih-ulih. Itu baru untuk urusan makan. Belum
biaya yang lainnya.
Baca juga : Kirab Siwur 1 Suro, Imogiri
Dari sudut si tetangga, kalau aku
melihat, para tetangga itu menjadi seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Coba
dipikir, sudah libur kerja, harusnya dapat uang malah tidak, capek membantu ini
itu, masih harus menyumbang, yang kadang-kadang uang yang untuk menyumbang itu juga
minjam ke orang lain dulu. Yang ada katanya mau menyumbang (yang notabene
menyumbang itu harusnya iklas) tapi malah bersedih hati karena terpaksa dan
memaksakan diri harus nyumbang. Yang punya warung, toko, terpaksa harus tutup karena depan toko dipakai untuk hajatan. Libur pendapatan hari itu (itu kalau cuma dipakai sehari, kadang sampai dua hari).
Itu baru nyumbang ke satu orang. Padahal kalau sedang
musim nikahan kayak gini.... wah... berapa rupiah yang harus dipersiapkan untuk
dana sumbangan.
Aku sendiri, mencoba menerapkan
tradisi baru. Saat aku mengadakan hajatan, saat nikah atau saat kelahiran bayi,
tetangga akan menanyakan, “nompo ora?”, maksudnya menerima sumbangan atau
tidak. Tradisi di keluargaku, “ora nompo”, artinya tidak menerima sumbangan. Kalau kita
niatnya mau bersyukur, bersedekah, tidaklah perlu merepotkan orang lain dengan
sumbangan. Kita seharusnya sudah berterima kasih kepada tetangga yang sudah
meluangkan waktu dan tenaganya membantu hajatan kita. Tidak perlu dibebani lagi
dengan sumbangan. Malah sebaiknya, di akhir acara kita memberikan bingkisan
kepada mereka yang telah membantu kita sebagai tanda
terimakasih.
Baca juga : Rahasia awet muda
Kata orang-orang, “wah, sudah
tradisi, jika tidak menyumbang tidak enak.” Ada yang bilang, ya gimana lagi....
namanya juga di masyarakat, “ngumumi”, sudah pada umumnya kayak gitu. Yah...
kadang-kadang tradisi memang justru merepotkan. Jadi aku memulainya dari diriku
sendiri. Jika orang lain yang punya hajatan, nikah atau kelahiran bayi, biasanya
aku lebih memilih memberinya kado. Jika ada nikahan, aku akan datang jika ada
undangan. Jika ada kelahiran bayi, jika memang tidak terlalu dekat dengan kita,
aku nggak akan memaksakan diri ikut tetangga-tetangga lain nyumbang. Yang punya
hajatan pun terkadang karena “tradisi” jadi dia terpaksa membuat acara-acara
yang sebenarnya tidak diperlukan, yang membuatnya terjebak hutang karena biaya
yang harus dikeluarkannya.
Jika memang niat kita membuat
syukuran, seharusnya juga membawa kegembiraan untuk orang-orang di sekitar kita.
Bukan justru membuat mereka pusing tujuh keliling karena dana yang harus dia
cari untuk orang lain yang sedang bergembira ria.
Untuk
para pemilik hajatan, tidak usah cemberut kalau tetangga "hanya"
menyumbang dengan jumlah yang sedikit. Bisa jadi di musim ini dia harus
menyumbang 4 atau 8 kali hajatan. Nggak mungkin sebanyak itu...?!
Mungkiiinnn sekali....!!
Merubah tradisi yang sudah nggak relefan ada baiknya juga kok....
Hi..
ReplyDeleteGlad to know that you have a wonderful life with your kids and the lucky men beside you..
Wish you and your fam all the best..
yds