Total Pageviews

Monday, November 21, 2011

Sumbangan Manten

pernikahan,Sumbangan,Budaya,sumbangan manten,Budaya Jawa,pengantin,tradisi,Tradisi Jawa,menikah,



Musim sumbangan telah tiba....  Jika musim panen, musim buah, musim hujan banyak ditunggu orang dengan gembira, maka musim sumbangan adalah musim yang paling menyedihkan bagi sebagian kaum simbok. Gimana tidak, dalam sebulan bisa tiga bahkan enam kali sumbangan.... kadang-kadang sehari bisa dua atau tiga undangan sekaligus. Wadhuh.....

Di masyarakat kita, terutama di daerah saya, Jogja, “pada umumnya” kalau orang punya hajatan (nikah, sunatan, kelahiran bayi), pasti disertai dengan sumbangan, memberi amplop berisi uang yang diberikan kepada si empunya hajat sebagai tanda “nderek bingah” atau ikut berbahagia atas hajatan tersebut. Ada juga yang sebelum hari H hajatan, si empunya hajatan mengirimkan makanan yang orang jawa biasa menyebutnya “besek”, "caos dhahar" (member makan), kepada kerabat, kerabatnya kerabat, teman, kenalan dan orang-orang yang dianggapnya perlu. Kemudian yang diberi “besek” tadi secara otomatis “wajib” memberi sumbangan kepada si pemberi. Sudah tradisi....

Dari sudut si empunya hajatan, di perkotaan, jika orang punya hajatan, dia menyewa tempat resepsi, semua jamuan sudah disediakan katering. Tamu tinggal datang, masukin amplop, bersalaman, makan, pulang.  Kalau di desa, tetangga dan kerabat dikumpulkan, bila perlu  yang biasa berdagang tutup dulu dagangannya, buruh dan karyawan libur dulu kerjanya, “rewang”, membantu tuan rumah masak dan mempersiapkan “ubo rampe” hajatan. Itu biasanya berlangsung selama dua sampai empat hari. Kalau hajatannya besar-besaran bisa sampai satu minggu. Hari H nyumbang, atau nyumbangnya pada saat hari pertama dia datang membantu “rewang”, setelah selesai ikut beres-beres.... Kadang orang yang punya hajatan dan “nompo”, biasanya dia juga memikirkan sesuatu yang akan diberikan sebagai balasan (ulih-ulih), biasanya berupa kue, nasi beserta lauk pauknya atau makanan lain. Jadi biaya yang akan dikeluarkan akan membengkak, mulai untuk membuat “besek”, hidangan hari H, makan bagi tetangga yang membantunya, ulih-ulih. Itu baru untuk urusan makan. Belum biaya yang lainnya.
  
 
Dari sudut si tetangga, kalau aku melihat, para tetangga itu menjadi seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Coba dipikir, sudah libur kerja, harusnya dapat uang malah tidak, capek membantu ini itu, masih harus menyumbang, yang kadang-kadang uang yang untuk menyumbang itu juga minjam ke orang lain dulu. Yang ada katanya mau menyumbang (yang notabene menyumbang itu harusnya iklas) tapi malah bersedih hati karena terpaksa dan memaksakan diri harus nyumbang. Yang punya warung, toko, terpaksa harus tutup karena depan toko dipakai untuk hajatan. Libur pendapatan hari itu (itu kalau cuma dipakai sehari, kadang sampai dua hari).
Itu baru nyumbang ke satu orang. Padahal kalau sedang musim nikahan kayak gini.... wah... berapa rupiah yang harus dipersiapkan untuk dana sumbangan. 

Aku sendiri, mencoba menerapkan tradisi baru. Saat aku mengadakan hajatan, saat nikah atau saat kelahiran bayi, tetangga akan menanyakan, “nompo ora?”, maksudnya menerima sumbangan atau tidak. Tradisi di keluargaku, “ora nompo”, artinya tidak menerima sumbangan. Kalau kita niatnya mau bersyukur, bersedekah, tidaklah perlu merepotkan orang lain dengan sumbangan. Kita seharusnya sudah berterima kasih kepada tetangga yang sudah meluangkan waktu dan tenaganya membantu hajatan kita. Tidak perlu dibebani lagi dengan sumbangan. Malah sebaiknya, di akhir acara kita memberikan bingkisan kepada mereka yang telah membantu kita sebagai tanda terimakasih. 

Baca juga : Rahasia awet muda

Kata orang-orang, “wah, sudah tradisi, jika tidak menyumbang tidak enak.” Ada yang bilang, ya gimana lagi.... namanya juga di masyarakat, “ngumumi”, sudah pada umumnya kayak gitu. Yah... kadang-kadang tradisi memang justru merepotkan. Jadi aku memulainya dari diriku sendiri. Jika orang lain yang punya hajatan, nikah atau kelahiran bayi, biasanya aku lebih memilih memberinya kado. Jika ada nikahan, aku akan datang jika ada undangan. Jika ada kelahiran bayi, jika memang tidak terlalu dekat dengan kita, aku nggak akan memaksakan diri ikut tetangga-tetangga lain nyumbang. Yang punya hajatan pun terkadang karena “tradisi” jadi dia terpaksa membuat acara-acara yang sebenarnya tidak diperlukan, yang membuatnya terjebak hutang karena biaya yang harus dikeluarkannya. 

Jika memang niat kita membuat syukuran, seharusnya juga membawa kegembiraan untuk orang-orang di sekitar kita. Bukan justru membuat mereka pusing tujuh keliling karena dana yang harus dia cari untuk orang lain yang sedang bergembira ria.
 
Untuk para pemilik hajatan, tidak usah cemberut kalau tetangga "hanya" menyumbang dengan jumlah yang sedikit. Bisa jadi di musim ini dia harus menyumbang 4 atau 8 kali hajatan. Nggak mungkin sebanyak itu...?! Mungkiiinnn sekali....!!

Merubah tradisi yang sudah nggak relefan ada baiknya juga kok....

1 comment:

  1. Hi..
    Glad to know that you have a wonderful life with your kids and the lucky men beside you..
    Wish you and your fam all the best..

    yds

    ReplyDelete